Pages

Jumat, 25 Desember 2009

Akibat kepanikan


Seorang laki-laki sedang duduk santai di bawah sebuah pohon setelah seharian bekerha di sawah. Tiba-tiba, seseorang berteriak, “Mansur.....anakmu Zainab hanyut di sungai ! saking kagetnya, laki-laki itu segera berlari kea rah sungai. Baru seratus meter dia berlari, ia baru sadar bahwa ia tidak memiliki anak bernama Zaenab. Ketika hampir mendekati sungai, dia sadar bahwa dia belum menikah. Jadi, bagaimana mungkin dia mempunyai anak ?

Ketika terjun ke sungai, dia baru sadar bahwa dia tidak bias berenang. Dan, ketika dia berada di tengah arus sungai, dia baru sadar bahwa namanya bukan “Mansur”.

Kepanikan hanya akan membuat kita kehilangan akal sehat. Pertama kali, yang harus kita lakukan ketika ada masalah yang menghampiri kita adalah menerima masalah itu dengan lapang dada. Sikap ini sangat mutlak diperlukan agar kita tetap tenang, sehingga kecerdasan kita tetap berfungsi dengan baik. Bukankah kebingungan atau kepanikan akan membuat kita kesulitan berpikir logis dan jernih ?

Dengan ketenangan, kita dapat membedakan atau menganalisis masalah yang ada, dan kemudian membuat atau menyintesis kesimpulan dan menentukan jalan pemecahannya.

Kamis, 10 Desember 2009

Halalnya Uang Belanja Dalam Sepotong Roti

Alkisah pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz disediakan makanan oleh Istrinya yang beda dari biasanya.. saat itu ada sepotong roti yang masih hangat, harum dan wangi tampak roti itu begitu lezatnya hingga membangkitkan selera.Sang Khalifah merasa heran dan bertanya pada Istrinya : “ Wahai Istriku dari mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini ? “.

Istrinya menjawab “ Ooh itu buatanku sendiri wahai Amirul Mukminin , aku sengaja membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu sibuk dengan urusan negara dan umat “.“ Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini “ tanya Khalifah. “ Hanya tiga setengah dirham saja , kenapa memangnya“ jawab sang istri “ Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT nanti “ jawab Khalifah, dan bertanya lagi “ terus uang yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana ? “. “Uang itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku , jadi dalam seminggu terkumpulah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat roti seperti ini yang halalan toyyiban “ jawab istrinya. “ Baiklah kalau begitu . Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan bersih “ kata Khalifah yang lalu menambahkan “ Berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yg membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat “.

Kemudian Khalifah memanggil Bendahara Baitul Maal (Kas Negara) dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya “ saya akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi “.Subhanalaah …Cerita ini benar2 mengandung keteladanan dari seorang Khalifah atau Presiden pimpinan negara yang begitu kuat berprinsip dan berhati-hati bahwa apapun yang dimakan dan minum harus benar2 tahu asal usul nya bahwa semua itu didapat secara halal dan benar. sebagai khalifah dia juga tak mau menggunakan serta menghamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi. kalau biaya rumahtangganya cukup 3 dirham sehari kenapa mesti 3.5 dirham.

Rabu, 02 Desember 2009

Tukang Cukur dan Tuhan

Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat. Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan. Si tukang cukur bilang,"Saya tidak percaya Tuhan itu ada". "Kenapa kamu berkata begitu?" timpal si konsumen. Sahut si tukang cukur, "Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan.... untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada. Lalu katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah orang yang sakit? Adakah anak yang terlantar?" Lanjutnya, "Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan katanya Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi." Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur.

Beberapa saat setelah si konsumen meninggalkan ruangan itu, ia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar "mlungker-mlungker" (istilah Jawa-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.

Lalu si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata,"Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR." Si tukang cukur tidak terima," Kamu kok bisa bilang begitu? Saya ada di sini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!" "Tidak!" elak si konsumen. "Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana," si konsumen menambahkan. "Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!" sanggah si tukang cukur. "Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya," jawab si tukang cukur membela diri. "Cocok!" kata si konsumen menyetujui. "Itulah point utama-nya! Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi? Orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini." Si tukang cukur pun akhirnya dengan malu-malu manggut-manggut menyetujui argumen ini.

Sepucuk Surat Cinta dari sang ayah

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki; surat seorang ayah kepada seorang ayah.


Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.


Nak, menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.


Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan,ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti, bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.


Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK", timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan.

Nak, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnyaaku dan siapa engkau. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh -penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku.

Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena Nya, bukan karena kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Tuhan.


Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan Tuhan. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit.


Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggengam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan ruhaniah yang sebenarnya.


Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti, Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hamper putus asa.


Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya. Dari ayah yang senantiasa merindukanmu.

Sepucuk Surat Cinta dari sang ayah

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki; surat seorang ayah kepada seorang ayah.

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.

Nak, menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.

Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan,ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti, bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.

Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK", timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan.

Nak, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnyaaku dan siapa engkau. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh -penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku.

Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena Nya, bukan karena kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Tuhan.

Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan Tuhan. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit.

Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggengam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan ruhaniah yang sebenarnya.

Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti, Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hamper putus asa.

Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya. Dari ayah yang senantiasa merindukanmu.